Judul
Buku : Technological
Catch-Up
Industri Farmasi Indonesia
Penulis : Lutfah Ariana, Dian
Prihadyanti, Hartiningsih, Ikbal
Maulana, dan Purnama Alamsyah
Penerbit : LIPI Press
Tahun
Terbit : 2015
Jumlah
Halaman : 114 halaman
Selama satu dekade terakhir, sektor farmasi global telah
mengalami perubahan yang sangat besar. Berakhirnya paten dari sebagian
obat-obatan berimplikasi pada perusahaan-perusahaan transnasional berbasis
litbang di negara maju untuk meninjau kembali model bisnisnya dan beradaptasi
pada perubahan yang ada.
Industri farmasi dikenal berperan vital bagi masyarakat,
terutama dalam menjaga kesehatan dan menghasilkan obat untuk mengatasi berbagai
penyakit. Selain itu, dilihat dari segi permintaannya, industri farmasi di
Indonesia merupakan salah satu industri yang berkembang cukup pesat dan
merupakan pasar farmasi terbesar di kawasan Asia Tenggara. Namun, jika dilihat
dari omzet penjualan secara global, pasar farmasi Indonesia tidak lebih dari
0,44% dari total pasar farmasi dunia. Hal ini disebabkan angka konsumsi obat
per kapita hanya mencapai kurang dari US$7,2 per kapita/tahun dan merupakan
salah satu angka terendah di kawasan Asia Tenggara.
Rendahnya konsumsi obat per kapita Indonesia tidak hanya
disebabkan oleh rendahnya daya beli, tetapi juga pola konsumsi obat di Indonesia
berbeda dengan negara Asia Tenggara lainnya. Di Malaysia misalnya, pola
penggunaan obat lebih mengarah ke obat paten.
Salah satu perusahaan farmasi asing pernah mengupayakan
untuk membuat industri kimia besar di Indonesia, tetapi sulit mendapatkan bahan
baku obat.
Technological
Catch-Up adalah akumulasi yang cepat dari kemampuan teknologi ke tingkat yang
memungkinkan bagi negara atau perusahaan untuk menjadi leader dalam teknologi
tertentu. Dalam upaya mengatasi ketertinggalan teknologi, ada beberapa
perspektif yang bisa digunakan untuk memahaminya yang terdiri dari tiga level
yaitu :
1.
Level Nasional.
2.
Level Industri.
3.
Level Perusahaan.
Faktor
pendorong Technological Catch-Up, menurut OECD, faktor-faktor yang terlibat
dalam inovasi dapat dibagi ke dalam lima kategori pemain kunci, yakni
pemerintah, bridging institution, perusahaan swasta, universitas, dan institusi
terkait, serta organisasi publik dan swasta lainnya.
Industri
farmasi merupakan industri yang sangat bergantung pada kegiatan litbang dengan
kompetensi teknologi dan penciptaan inovasi menjadi faktor penting dalam
mendukung keberlangsungan dan pertumbuhan perusahaan. Kecenderungan industri
farmasi setelah tahun 1980 dimulai dengan keberhasilan komersial inovasi
radikal yang dilakukan industri farmasi, seperti dihasilkan insulin,
rekombinan, hormon pertumbuhan manusia, interferon, tissue plasminogen
activator ( TPA ), dan erythropoietin ( EPO ).
Dilihat
dari perkembangannya, industri farmasi Indonesia relatif masih muda
dibandingkan dengan industri farmasi di negara-negara maju. Industri ini
mengalami pertumbuhan yang cukup pesat sejak zaman Orde Baru. Industri bahan
baku dalam negeri secara bertahap juga telah dikembangkan. Beberapa bahan baku
obat yang cukup penting, seperti paracetamol, etambutol, salicylamid,
kanamisin, trimetoprim, dan bahan-bahan obat yang berasal dari alam telah dapat
diproduksi di dalam negeri. Meskipun demikian, sebagian besar kebutuhan bahan
baku obat masih harus diimpor.
Pengembangan
industri bahan baku obat dalam negeri bukan masalah yang sederhana dan mudah.
Masalah yang dihadapi, antara lain daya serap pasar masih kecil dan belum
mencapai kapasitas yang ekonomis dan memadai. Sementara itu, investasi permodalan dan teknologi untuk
industri bahan baku sangat besar. Untuk itu, jangkauan pemasarannya perlu
diperluas, tidak hanya untuk konsumsi dalam negeri, tetapi juga harus dapat
menembus pasar internasional, terutama di kawasan Asia.
Pada
masa mendatang, perusahaan farmasi nasional Indonesia belum mampu bersaing pada
segmen pasar obat paten / obat inovatif. Lebih dari itu, industri farmasi
Indonesia belum mampu mencapai penemuan obat baru sebab masih banyak kendala
terutama dari aspek investasi.
Oleh
karena itu, perlu dilakukan loncatan teknologi dalam upayanya mengatasi
ketertinggalan. Karena industri farmasi nasional belum ada yang melakukan
terobosan baru tersebut. Hal ini disebabkan industri farmasi nasional lebih
tertarik untuk memenuhi kebutuhan pasar akan produk farmasi yang umum
dibutuhkan masyarakat, yaitu produksi dan pemasaran obat yang sudah off patent
( obat generik ).
Salah
satu bentuk pengembangan formulasi melalui kegiatan litbang yaitu
pengembangan New Delivery System ( NDS )
dan penelitian obat herbal. NDS yang sangat mungkin dikembangkan adalah
teknologi pelepasan lambat untuk obat tertentu. Pengembangan obat herbal
mempunyai prospek yang sangat baik. Contoh ekstrak temu lawak mampu menurunkan
LDL kolesterol yang khasiatnya sejajar dengan Lipitor.
Sekitar
tahun 1985, pada masa kepemimpinan Habibie sebagai Menteri Riset dan Teknologi telah
diupayakan pengembangan bioteknologi dengan diselenggarakannya Kongres
Mikrobiologi. Sampai akhirnya pada awal 1990, dibentuk Lembaga Biologi dan
Molekuler yang dikenal dengan Lembaga Eijkman.
Kebijakan
yang mendukung kemajuan industri farmasi juga diwujudkan melalui Rakornas
Ristek 2011 yang melibatkan Ristek Litbangkes, dan industri farmasi. Dalam
rapat tersebut difokuskan dalam pengembangan vaksin, obat malaria, obat bahan
alam ( obat kolera, diabetes, hipertensi, dan asam urat ), dan alat USG.
Perusahaan-perusahaan
nasional bisa mengungguli perusahaan multinasional, karena produk farmasi
dipenuhi oleh obat-obat yang usai patennya. Awal kemampuan produk perusahaan
nasional masih lemah dan dengan keuntungan ekonomi yang juga rendah. Saat ini
kemampuan produksi nasional sudah semakin tinggi. Standar produk juga sudah
mampu dicapai atau tidak berbeda dengan standar produk yang ditetapkan
perusahaan internasional.
Keunggulan
dari sebuah industri farmasi bergantung pada tingkat keunikan atau diferensiasi
produk yang mencerminkan level yang lebih tinggi dalam hal kapabilitas
teknologi dan inovasi. Beberapa perusahaan farmasi mengupayakan strategi secara
bertahap melalui rangkaian kegiatan yang berbeda, seperti tantangan terhadap
penggunaan paten yang sudah kadaluarsa, pengembangan mandiri terhapa formulasi
baru, dan pengembangan sistem pendistribusian obat baru, seperti substansinya
atau kegiatan lain seperti branding obat generik.
Beberapa
perusahaan yang tidak bergerak dalam pengembangan obat baru berbasis biologi
molekuler akan mengupayakan peningkatan kapabilitas teknologi melalui ekspansi
ke pengembangan produk lain, seperti makanan dan minuman suplemen, serta jamu.
No comments:
Post a Comment