Monday, June 3, 2019

Sinopsis Buku "Hukuman Mati: Problem Legalitas & Kemanusiaan"



Judul Buku                  : Hukuman Mati: Problem Legalitas & Kemanusiaan
Penulis                         : Abdur Rahim, Asruddin Azwar, Muhammad Hafiz, dan Satrio Wirataru
Penerbit                       : In-TRANS Institute
Tahun Terbit                : 2015


            Hukum pidana dengan sanksi pidana mati telah diberlakukan di tanah Nusantara berdasarkan asas konkordansi oleh pemerintah kolonial Belanda dan berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 1918. Sistem hukum di Indonesia, termasuk di dalamnya KUH Perdata dan KUH Pidana yang merupakan adopsi dari hukum kolonial Belanda. Pengadopsian itu disahkan melalui UU No. 1 Tahun 1946.
            Positivisme hukum yang dianut oleh Indonesia merupakan turunan dari positivisme hukum ( aliran legisme ) yang bersumber dari filsafat positivisme August Comte. Secara lugas, dijelaskan oleh F. Budi Hardiman bahwa “menolak sama sekali bentuk pengetahuan lain seperti etika, teologi, dan moral yang dianggap melampaui fenomena yang teramati secara inderawi.”
            Maka, dalam pengaruhnya terhadap hukum, terutama dalam hal penerapan hukum oleh lembaga penegak hukum akan kentara dengan logika berfikir silogisme deduktif ala Austin atau Kelsen, yakni penarikan kesimpulan secara deduktif dari premis mayor ke premis minor dan menghasilkan kesimpulan berupa putusan hakim. Hal ini tentu berbahaya apabila secara serta-merta diterapkan dalam konstruksi hukum pidana.
            Salah satu contohnya adalah Yusman yang dijadikan tersangka pembunuhan berencana dengan hukuman pidana mati. Hasil investigasi kontras mendapati bahwa terjadi pelanggaran terhadap proses hukum. Yusman tidak didampingi pengacara dan masih berusia di bawah umur.
            Pidana mati, sebagai pilihan sanksi terakhir dengan maksud pemberian efek jera masih legal dalam hukum positif di Indonesia. Keberadaan pidana mati menjadi perdebatan di saat banyak negara lain di dunia telah mencabut hukuman mati dari hukum positifnya dengan alasan tidak manusiawi dan bertentangan dengan aspek HAM, salah satunya hak untuk hidup.          
Meskipun demikian, kecaman dari dunia internasional oleh pemerintah negara yang warga negaranya menjadi terpidana mati kasus narkoba cukup menekan Indonesia untuk mempertimbangkan kembali, bahkan menghapus hukuman mati.
            Dalam konteks penegakan hukuman mati, pemerintah bersikukuh pada keputusannya untuk tetap menerapkan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana yang tergolong the most serious crime.
            Cara eksekusi hukuman mati dari waktu ke waktu semakin berubah. Awalnya hukuman mati diterapkan dengan cara yang amat keji, seperti dikubur hidup-hidup, dibakar hidup-hidup, hukuman pancung, disalib, dan dirajam. Pada abad ke-18, para ahli hukum mulai mencari cara eksekusi yang lebih manusiawi seperti hukum gantung, kursi listrik, atau suntik mati.
            Beberapa kalangan berpendapat bahwa penerapan hukuman mati terhadap tindak pidana tertentu merupakan suatu pelanggaran HAM dan melanggar konstitusi jelas tidak mempunyai argumen yang kuat. Sebaliknya, penegakan HAM tidak boleh mengabaikan hak-hak orang lain, melainkan harus menghormati dan mengakui keberadaan hak-hak orang lain.
            Mengacu pada ketentuan tersebut, gagasan yang menuntut dihapuskannya pidana mati merupakan bentuk pelaksanaan HAM yang sepihak dan individual, karena hanya memperhatikan HAM pada sisi pelaku dan mengabaikan perlindungan HAM terhadap pihak lain sebagai korban. Tentunya hal ini tidak adil dan tidak dibenarkan secara hukum.
            Penjatuhan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan serius, seperti kejahatan terorisme dan narkoba, sebagai upaya deterrence yang bersifat publik untuk menimbulkan rasa takut terhadap masyarakat luas sehingga dapat mencegah dan meminimalisirkan terjadinya kejahatan serupa.
            Pernyataan bahwa pidana mati masih diterapkan di Indonesia sebagai warisan dari pemerintah Hindia Belanda kelihatannya tidak begitu tepat. Hal ini disebabkan karena sejumlah peraturan perundang-undangan yang setaraf dengan undang-undang di Indonesia masih menerapkan pidana mati sebagai alternatif hukuman. Walaupun, nyatanya undang-undang tersebut dibuat atau telah direvisi, bahkan di antaranya ditertibkan pasca reformasi.
            Bila ditelusuri lebih jauh, ada dua undang-undang yang paling banyak menerapkan hukuman mati di dalamnya, yaitu UU Hukum Pidana Militer, UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, UU No. 35 Tahun 2009, serta UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
            Upaya untuk menghapuskan hukuman mati di Indonesia sempat kandas ketika Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi yang dilakukan oleh 4 orang pemohon terpidana mati. Melalui Putusan No. 2-3/PUU-V/2007, Mahkamah Konstitusi menyatakan hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi dan masih dibutuhkan keberadaannya sebagai bentuk kekuatan terhadap hukuman.
            Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, semua peraturan yang mencantumkan hukuman mati masih berlaku hingga sekarang, baik yang tercantum di dalam KHUP ataupun di dalam undang-undang lainnya di Indonesia. Perdebatan hukuman mati dalam kovenan dapat dilihat dalam Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Politik, yang menjadi pondasi penghapusan hukuman mati secara global.
            Secara garis besar, dapat dikemukakan oleh International Bar Association terdapat hal yang terkandung di dalam Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Politik terkait dengan hukuman mati, diantaranya adalah :
a)      Hak atas peradilan yang fair terhadap mereka yang didakwa dengan hukuman mati.
b)      Pembatasan penerapan hukuman mati hanya untuk kejahatan yang sangat serius.
c)      Larangan diterapkannya hukuman mati ketika hak-hak di dalam ICCPR justru terlanggar.
d)     Larangan penerapan berlaku surut untuk tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati.
e)      Hak atas ampunan terhadap hukuman pidana mati yang telah diterapkan.
f)       Larangan eksekusi terhadap mereka yang berusia di bawah 18 tahun.
g)      Larangan eksekusi perempuan hamil.
Sejumlah dokumen PBB mengarah pada suatu kesimpulan bahwa ruang lingkup hukuman mati pada prinsipnya tidak boleh diterapkan pada kejahatan-kejahatan di luar kejahatan berencana yang berakibat serius, masif, dan sangat mematikan.

No comments:

Post a Comment