Judul Buku :
Hukuman Mati: Problem Legalitas & Kemanusiaan
Penulis : Abdur Rahim, Asruddin Azwar, Muhammad Hafiz, dan Satrio Wirataru
Penerbit : In-TRANS Institute
Tahun
Terbit : 2015
Hukum
pidana dengan sanksi pidana mati telah diberlakukan di tanah Nusantara
berdasarkan asas konkordansi oleh pemerintah kolonial Belanda dan berlaku
efektif sejak tanggal 1 Januari 1918. Sistem hukum di Indonesia, termasuk di
dalamnya KUH Perdata dan KUH Pidana yang merupakan adopsi dari hukum kolonial
Belanda. Pengadopsian itu disahkan melalui UU No. 1 Tahun 1946.
Positivisme
hukum yang dianut oleh Indonesia merupakan turunan dari positivisme hukum (
aliran legisme ) yang bersumber dari filsafat positivisme August Comte. Secara
lugas, dijelaskan oleh F. Budi Hardiman bahwa “menolak sama sekali bentuk
pengetahuan lain seperti etika, teologi, dan moral yang dianggap melampaui
fenomena yang teramati secara inderawi.”
Maka,
dalam pengaruhnya terhadap hukum, terutama dalam hal penerapan hukum oleh lembaga
penegak hukum akan kentara dengan logika berfikir silogisme deduktif ala Austin
atau Kelsen, yakni penarikan kesimpulan secara deduktif dari premis mayor ke
premis minor dan menghasilkan kesimpulan berupa putusan hakim. Hal ini tentu
berbahaya apabila secara serta-merta diterapkan dalam konstruksi hukum pidana.
Salah
satu contohnya adalah Yusman yang dijadikan tersangka pembunuhan berencana
dengan hukuman pidana mati. Hasil investigasi kontras mendapati bahwa terjadi
pelanggaran terhadap proses hukum. Yusman tidak didampingi pengacara dan masih
berusia di bawah umur.
Pidana
mati, sebagai pilihan sanksi terakhir dengan maksud pemberian efek jera masih
legal dalam hukum positif di Indonesia. Keberadaan pidana mati menjadi
perdebatan di saat banyak negara lain di dunia telah mencabut hukuman mati dari
hukum positifnya dengan alasan tidak manusiawi dan bertentangan dengan aspek
HAM, salah satunya hak untuk hidup.
Meskipun demikian,
kecaman dari dunia internasional oleh pemerintah negara yang warga negaranya
menjadi terpidana mati kasus narkoba cukup menekan Indonesia untuk
mempertimbangkan kembali, bahkan menghapus hukuman mati.
Dalam
konteks penegakan hukuman mati, pemerintah bersikukuh pada keputusannya untuk
tetap menerapkan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana yang tergolong the most serious crime.
Cara
eksekusi hukuman mati dari waktu ke waktu semakin berubah. Awalnya hukuman mati
diterapkan dengan cara yang amat keji, seperti dikubur hidup-hidup, dibakar
hidup-hidup, hukuman pancung, disalib, dan dirajam. Pada abad ke-18, para ahli
hukum mulai mencari cara eksekusi yang lebih manusiawi seperti hukum gantung,
kursi listrik, atau suntik mati.
Beberapa
kalangan berpendapat bahwa penerapan hukuman mati terhadap tindak pidana tertentu
merupakan suatu pelanggaran HAM dan melanggar konstitusi jelas tidak mempunyai
argumen yang kuat. Sebaliknya, penegakan HAM tidak boleh mengabaikan hak-hak
orang lain, melainkan harus menghormati dan mengakui keberadaan hak-hak orang
lain.
Mengacu
pada ketentuan tersebut, gagasan yang menuntut dihapuskannya pidana mati
merupakan bentuk pelaksanaan HAM yang sepihak dan individual, karena hanya
memperhatikan HAM pada sisi pelaku dan mengabaikan perlindungan HAM terhadap
pihak lain sebagai korban. Tentunya hal ini tidak adil dan tidak dibenarkan
secara hukum.
Penjatuhan
hukuman mati terhadap pelaku kejahatan serius, seperti kejahatan terorisme dan
narkoba, sebagai upaya deterrence
yang bersifat publik untuk menimbulkan rasa takut terhadap masyarakat luas
sehingga dapat mencegah dan meminimalisirkan terjadinya kejahatan serupa.
Pernyataan
bahwa pidana mati masih diterapkan di Indonesia sebagai warisan dari pemerintah
Hindia Belanda kelihatannya tidak begitu tepat. Hal ini disebabkan karena
sejumlah peraturan perundang-undangan yang setaraf dengan undang-undang di
Indonesia masih menerapkan pidana mati sebagai alternatif hukuman. Walaupun,
nyatanya undang-undang tersebut dibuat atau telah direvisi, bahkan di antaranya
ditertibkan pasca reformasi.
Bila
ditelusuri lebih jauh, ada dua undang-undang yang paling banyak menerapkan
hukuman mati di dalamnya, yaitu UU Hukum Pidana Militer, UU No. 22 Tahun 1997
tentang Narkotika, UU No. 35 Tahun 2009, serta UU No. 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Upaya
untuk menghapuskan hukuman mati di Indonesia sempat kandas ketika Mahkamah
Konstitusi menolak permohonan uji materi yang dilakukan oleh 4 orang pemohon
terpidana mati. Melalui Putusan No. 2-3/PUU-V/2007, Mahkamah Konstitusi
menyatakan hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi dan masih
dibutuhkan keberadaannya sebagai bentuk kekuatan terhadap hukuman.
Dengan
adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, semua peraturan yang mencantumkan
hukuman mati masih berlaku hingga sekarang, baik yang tercantum di dalam KHUP
ataupun di dalam undang-undang lainnya di Indonesia. Perdebatan hukuman mati
dalam kovenan dapat dilihat dalam Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Politik, yang
menjadi pondasi penghapusan hukuman mati secara global.
Secara
garis besar, dapat dikemukakan oleh International Bar Association terdapat hal
yang terkandung di dalam Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Politik terkait dengan
hukuman mati, diantaranya adalah :
a)
Hak
atas peradilan yang fair terhadap
mereka yang didakwa dengan hukuman mati.
b)
Pembatasan
penerapan hukuman mati hanya untuk kejahatan yang sangat serius.
c)
Larangan
diterapkannya hukuman mati ketika hak-hak di dalam ICCPR justru terlanggar.
d)
Larangan
penerapan berlaku surut untuk tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati.
e)
Hak
atas ampunan terhadap hukuman pidana mati yang telah diterapkan.
f)
Larangan
eksekusi terhadap mereka yang berusia di bawah 18 tahun.
g)
Larangan
eksekusi perempuan hamil.
Sejumlah dokumen PBB
mengarah pada suatu kesimpulan bahwa ruang lingkup hukuman mati pada prinsipnya
tidak boleh diterapkan pada kejahatan-kejahatan di luar kejahatan berencana
yang berakibat serius, masif, dan sangat mematikan.
No comments:
Post a Comment