Thursday, July 30, 2020

Adnan Buyung Nasution: Sang Penegak Hukum Tanah Air


Nama Lengkap                        : Adnan Buyung Nasution

Tempat, Tanggal Lahir            : Jakarta, 20 Juli 1934

Meninggal                               : Jakarta, 23 September 2015

Pekerjaan                                 : Pengacara dan Pendiri Lembaga Bantuan Hukum

Agama                                     : Islam

Istri                                          : Tengku Sabariah Sabaroedin

Anak                                       : Iken Basya Rinanda Nasution

  Tia Rinanda Nasution

  Mauldy Donggur Rinanda Nasution

  Rasyid Alam Perkasa Rinanda Nasution

  Pia Ariestiana Rinanda Nasution

Almamater                              : Universitas Indonesia

  University of Melbourne

  Utrecht University

Prof. Dr. (Iur) H. Adnan Buyung Nasution, S.H. atau Adnan Bahrum Nasution adalah seorang pengacara andal dan aktivis Indonesia. Adnan Buyung merupakan pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH), yaitu sebuah organisasi masyarakat sipil yang berada di bawah naungan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Pada tahun 2007 s.d. 2009, Adnan Buyung Nasution menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bagian Hukum.

Tidak banyak yang tahu bahwa nama tengah Adnan sebenarnya adalah Bahrum. Di akta kelahirannya, namanya tercatat sebagai Adnan Bahrum Nasution. Namun, Adnan menamai dirinya sebagai Adnan Buyung Nasution. Nama "Buyung" ia dapatkan karena ia sering dipanggil demikian oleh teman-teman dan kerabatnya.

Adnan Buyung dikenal sebagai sosok yang tangguh. Ketika berusia 12 tahun, Adnan Buyung hidup hanya dengan adik semata wayangnya, Samsi Nasution, sembari berdagang barang loakan di Pasar Kranggan, Yogyakarta. Di tempat itu pula, ibu Adnan Buyung yang bernama Ramlah Dougur berjualan es cendol. Sementara itu, ayahnya, R. Rachmat Nasution, bergerilya melawan Belanda pada tahun 1947 hingga 1948.

Sang ayah merupakan sosok yang bisa dikatakan memberikan banyak pengaruh pada Adnan Buyung kecil. Rachmat Nasution adalah seorang pejuang gerilya dan reformasi. Dia juga merupakan pendiri Kantor Berita Nasional Antara dan Harian Kedaulatan Rakyat. Selain itu, dia juga merintis The Time of Indonesia.

Profesi tersebut membuatnya kerap melakukan perjalanan tugas ke berbagai daerah dan berjumpa dengan para tokoh pejuang yang berasal dari berbagai suku bangsa di Indonesia dan juga orang-orang dari bangsa lain. Dari berbagai kisah pengalaman sang ayah itu, Adnan Buyung mendapatkan suatu pemahaman bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar, namun belum sepenuhnya terbebas dari cengkeraman kolonialisme. Hal ini membuat rakyat Indonesia masih terbelakang, diperlakukan secara tidak adil, dan amat menderita karena tidak mendapatkan penghormatan dan perlakuan yang setara sebagaimana layaknya bangsa-bangsa bermartabat lainnya.

Berkat keaktifan sang ayah di berbagai bidang, Adnan Buyung mengikuti Mobilisasi Pelajar (Mobpel) ketika SMP. Mobilisasi Pelajar adalah sebuah kesatuan pelajar yang ikut berjuang membela negara di era revolusi fisik pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Mobilisasi Pelajar secara resmi dibentuk berdasarkan instruksi dari Panglima Komando Djawa pada tanggal 8 Mei 1949 dengan tujuan mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia dari usaha Belanda untuk menguasai kembali wilayah Hindia Belanda. Di dalam organisasi tersebut, Adnan Buyung ikut berdemonstrasi terkait pendirian sekolah NICA di Yogyakarta.

Ketika bersekolah di SMA Negeri 1 Jakarta, Adnan Buyung menjabat sebagai Ketua Cabang Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), yang kemudian ia bubarkan karena mengandung unsur PKI. Selepas SMA, Adnan Buyung terdaftar sebagai mahasiswa Teknik Sipil di Institut Teknologi Bandung. Namun, satu tahun kemudian, Adnan Buyung pindah ke Fakultas Gabung Hukum, Ekonomi, dan Sosial Politik di Universitas Gadjah Mada. Tidak lama kemudian, Adnan Buyung pindah ke Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan di Universitas Indonesia. Awalnya, sang ayah ingin Adnan Buyung menjadi seorang insinyur. Namun, jiwa Adnan Buyung ada di bidang hukum. Adnan Buyung pun memutuskan untuk mendalami ilmu hukum dengan harapan dapat memperjuangkan penegakan hukum dan keadilan di negeri ini. Di tiga universitas tersebut, Adnan Buyung aktif dalam berbagai organisasi mahasiswa.

Setelah lulus dari Universitas Indonesia, Adnan Buyung bekerja sebagai jaksa dan Kepala Humas Kejaksaan Agung pada tahun 1957 s.d. 1968. Ia juga mendapatkan kesempatan untuk belajar hukum internasional di University of Melbourne dengan supervisi dari Prof. Leiser. Selain mempelajari hukum internasional, Adnan Buyung juga mempelajari mekanisme bantuan hukum terhadap rakyat miskin (legal aid for the poor). Ilmu dan pengetahuan itu kemudian menjadi cikal bakal didirikannya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) beberapa tahun kemudian.

Menjadi jaksa dan kerap bertugas di daerah-daerah pinggiran dan luar Jakarta membuat Adnan Buyung menyaksikan dan merasakan secara langsung penderitaan rakyat kecil ketika ditimpa masalah hukum. Dari situ, Adnan Buyung semakin menyadari bahwa sebagian besar bangsa kita ternyata belum kunjung dapat menikmati manisnya kemerdekaan, tetap terpinggirkan, dan terus diperlakukan secara tidak adil sehingga kehidupannya amat menderita. Adnan Buyung pun berpikir orang-orang kecil yang buta hukum itu harus dibantu. Penegakan hukum dan keadilan tidak mungkin terjadi di Indonesia jika rakyat dari kalangan menengah ke bawah dalam posisi yang tidak seimbang. Persoalan ini mendorong Adnan Buyung untuk mengambil peran sebagai orang yang membela mereka.

Adnan Buyung juga tetap aktif dalam berbagai kegiatan politik di Indonesia. Adnan Buyung merupakan Ketua Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) pada tahun 1966. Adnan Buyung juga tercatat sebagai pendiri dan Ketua Gerakan Pelaksana Ampera. Selain itu, ketika terjadi peristiwa Gestapu, Adnan Buyung tercatat sebagai anggota Komando Aksi Pengganyangan Gestapu. Adnan Buyung sempat diskors selama satu setengah tahun akibat ikut berdemonstrasi dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan dituduh sebagai sosok antirevolusi. Adnan Buyung pun ikut menumbangkan pemerintahan Soekarno dan melahirkan pemerintahan baru di bawah rezim Orde Baru.

Setelah itu, Adnan Buyung dipindahtugaskan ke Manado. Namun, tak lama, Adnan Buyung ditempatkan di Medan. Hal ini membuat Adnan Buyung menganggur hingga satu tahun. Di saat yang bersamaan, Adnan Buyung mendapatkan panggilan untuk menjadi anggota DPRS/MPRS pada tahun 1966 s.d. 1968.

Pada tahun 1969, Adnan Buyung membuka kantor pengacara (advokat) bernama Adnan Buyung & Associates, di mana ia menjadi advokat dan konsultan hukum. Selain itu, pada tahun 1970, Adnan Buyung mendirikan Lembaga Bantuan Hukum dan menjadi pengurus di sana sampai tahun 1986. Hal ini membuatnya telah menjadi aktivis sejak muda. Lembaga Bantuan Hukum serta kantor pengacaranya berjalan dengan baik hingga saat ini. Bahkan, kantor pengacaranya merupakan salah satu kantor pengacara terbaik di Indonesia.

Sementara itu, Adnan Buyung juga mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). YLBHI yang didirikannya mendapatkan respons yang baik dan membawahi banyak LBH lainnya sehingga dikenal sebagai lokomotif demokrasi. Gagasan untuk mendirikan LBH merupakan refleksi Adnan Buyung ketika menjalankan persidangan. Menurut Adnan Buyung, para terdakwa selalu pasrah menerima dakwaan dan ia beranggapan bahwa mereka butuh pembela. Namun, ide tersebut baru dapat ia realisasikan setelah ia melanjutkan studi hukumnya di University of  Melbourne.

Ketika melanjutkan studinya di University of Melbourne, Adnan Buyung belajar bahwa lembaga bantuan hukum memiliki pola, model, dan bentuk tertentu. Kemudian, ia membagikan ide tersebut kepada Kepala Kejaksaan Agung, Soeprapto. Menurut Soeprapto, belum waktunya ide tersebut direalisasikan. Hal ini memicu Adnan Buyung untuk mendapatkan banyak persetujuan dari pihak-pihak lain. Kemudian, ia melakukan pendekatan dengan banyak petinggi hukum, seperti Yap Thiam Hien, Lukman Wiryadinata, dan Ali Moertopo. Melalui Ali Moertopo, ide tersebut sampai di telinga Presiden Soeharto.

Tidak berapa lama kemudian, Adnan Buyung mendapatkan persetujuan dan dukungan dari pemerintah. Selain presiden, Adnan Buyung juga mendapatkan suara dari Ali Sadikin, Gubernur Jakarta saat itu. Bahkan, yang mendukung bukan hanya Ali pribadi, tetapi juga Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Akhirnya, pada tanggal 28 Oktober 1970, lahirlah LBH yang diketuai oleh Adnan Buyung sendiri.

Adnan Buyung cukup sering mengkritik pemerintahan Orde Baru yang tidak mewujudkan keadilan bagi rakyat kecil. Hal ini membuat pada tahun 1987, Adnan Buyung terpaksa meninggalkan Indonesia dan harus pergi ke Belanda karena ancaman dari pemerintahan Orde Baru. Ia pun memanfaatkan waktunya di Belanda untuk melanjutkan studinya di Utrecht University. Ia pun memperoleh gelar doktor lewat disertasi berjudul A Socio-Legal Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959.

Setelah kembali ke Indonesia, Adnan Buyung kembali aktif menyuarakan aspirasinya. Ia menjadi aktivis dan berorasi di Universitas Atma Jaya pada tahun 1998. Selanjutnya, gelombang reformasi yang terjadi sejak 1998 membuat Adnan Buyung kembali terjun ke dunia politik. Kali ini, ia menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk Pemilu 1999. Adnan Buyung bersama KPU dinilai berhasil menggelar pemilihan umum yang nyaris tanpa kecurangan dan sangat demokratis. Selanjutnya, Adnan Buyung diminta untuk menjadi penasihat ahli untuk Kementerian Kehakiman di tahun 1998 dan penasihat ahli untuk Kementerian Pertahanan di tahun 2007. Adnan Buyung juga pernah menjadi Wakil Ketua Panitia Seleksi Calon Anggota KPK dan Komisi Yudisial. 

Pada tahun 2007 s.d. 2009, dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Adnan Buyung menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Setelah berhenti menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden, ia menerbitkan buku berjudul Nasihat untuk SBY yang mengungkapkan pengalamannya selama menjabat pada tahun 2007 s.d. 2009. Banyak pihak menilai buku itu kontroversial. Tetapi, seperti sikapnya selama ini, Adnan Buyung tetap menjadi sosok yang bersikap kritis.

Pada tahun 2010, Adnan Buyung mendapatkan gelar guru besar (profesor kehormatan) dari University of Melbourne, sebagai pengakuan atas kontribusinya yang sangat besar pada studi konstitusi pada hukum Indonesia dan komitmennya untuk membangun supremasi hukum di Indonesia.

Pada tanggal 23 September 2015, Adnan Buyung Nasution meninggal dunia di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta. Awalnya, Adnan Buyung dirawat di rumah sakit karena mengalami sakit pada giginya. Adnan Buyung yang sudah menderita gagal ginjal sejak Desember 2014 harus mengalami perawatan lebih lanjut setelah menjalani operasi pencabutan gigi. Selama dirawat, Adnan Buyung ‎tidak bisa mengonsumsi makanan yang keras dan hanya mampu mengonsumsi makanan cair. Hal ini membuat asam lambungnya naik, muntah-muntah hebat, serta memengaruhi kerja paru-paru dan jantungnya. Selain itu, selama ini, Adnan Buyung juga kerap menjalani cuci darah sejak dinyatakan mengalami gagal ginjal. Kepergian Adnan Buyung Nasution membawa kesedihan bagi masyarakat Indonesia karena selama hidupnya, ia telah membela masyarakat miskin, memperjuangkan berbagai masalah HAM, dan memperjuangkan demokrasi di Indonesia.

Salah satu sepak terjang Adnan Buyung di bidang hukum adalah pembentukan Lembaga Bantuan Hukum. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) adalah sebuah organisasi masyarakat sipil yang berada di bawah naungan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang dibentuk dengan tujuan untuk memberikan pembelaan terhadap masyarakat tidak mampu. LBH Jakarta merupakan lembaga bantuan hukum terbesar di Indonesia dengan akreditasi A yang memberikan bantuan hukum kepada rakyat miskin, buta hukum, dan tertindas. Lingkup kerja LBH Jakarta meliputi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Banten.

Awal pembentukan LBH Jakarta berasal dari gagasan Adnan Buyung untuk memberikan pembelaan terhadap masyarakat yang tidak mampu memperjuangkan hak-haknya, terutama rakyat miskin yang digusur dan dipinggirkan, di mana dalam kesehariannya, hak-hak asasi mereka sering dilanggar. Gagasan tersebut kemudian disampaikan dalam Kongres III Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) pada tahun 1969. Gagasan tersebut kemudian diajukan dan disetujui oleh Dewan Pimpinan Pusat Peradin melalui Surat Keputusan Nomor 001/KEP/10/1970 tertanggal 26 Oktober 1970 Tentang Penetapan Pendirian Lembaga Bantuan Hukum dan Lembaga Pembela Umum di Wilayah DKI Jakarta yang kemudian menjadi pilot project Peradin. Namun, secara resmi, LBH Jakarta baru mulai berdiri dan menempati kantor pertamanya di Jl. Kiai Haji Zainul Arifin 3, Ketapang, Jakarta Pusat pada tanggal 1 April 1971. Mulai beroperasinya LBH Jakarta ditandai dengan pemotongan tumpeng dan acara selamatan secara sederhana.

Pembentukan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan, termasuk Ali Sadikin yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sebagai representasi dari
Pemerintah DKI Jakarta, Gubernur Ali Sadikin mengukuhkan secara resmi keberadaan LBH Jakarta melalui SK Gubernur No. Ib.3/31/70 Tentang Pembentukan Lembaga Bantuan Hukum/Lembaga Pembela Umum (Legal Aid/Public Defender) dalam Wilayah DKI Jakarta tertanggal 14 November 1970.

Dukungan tersebut diberikan pula dalam bentuk subsidi dana dan fasilitas lainnya yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah DKI Jakarta. Media massa atau pers juga memberikan dukungan besar terhadap LBH Jakarta. Hal ini terlihat dari intensitas pemberitaan media tentang sepak terjang LBH Jakarta dalam berbagai kegiatan penanganan kasus yang dilakukan. LBH Jakarta juga diberikan porsi lebih dalam menyampaikan suara kritis terhadap kebijakan pemerintah. Dengan demikian, masyarakat dengan mudah mengenal dan mengetahui LBH Jakarta sebagai lembaga pemberi layanan bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah pengaduan yang diterima LBH Jakarta yang tidak pernah kurang dari 1.000 kasus per tahun.

Bukan hanya sekadar memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat tidak mampu, tetapi LBH juga membela tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, agama, suku, etnis, dan keyakinan politik. Prinsip ini merupakan prinsip utama LBH Jakarta yang dipegang secara teguh. LBH Jakarta tidak hanya menjadi pembela di bidang hukum saja, tetapi juga melakukan gerakan pemberdayaan masyarakat. Konsep pembelaan dan pemberdayaan masyarakat tersebut oleh Prof. Paul Moedikdo Moeliono dinamakan sebagai gerakan Bantuan Hukum Struktural (BHS) yang kemudian identik dengan LBH Jakarta.

Setelah beroperasi selama satu dasawarsa, pada tanggal 13 Maret 1980, status hukum LBH ditingkatkan menjadi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 28 Oktober tetap dijadikan sebagai hari ulang tahun YLBHI.

Walaupun awalnya dibentuk untuk memberikan bantuan hukum bagi masyarakat kurang mampu, lambat laun rezim Orde Baru yang otoriter di bawah pimpinan Soeharto membawa LBH menjadi salah satu subjek kunci bagi perlawanan terhadap otoritarianisme Orde Baru dan menjadi simpul penting bagi gerakan prodemokrasi.

Prinsip-prinsip bagi penegakan demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan membawa LBH ke tengah lapangan perlawanan atas ketidakadilan struktural yang dibangun dalam bingkai Orde Baru. LBH memilih untuk berada di sisi pergerakan kaum buruh, petani, mahasiswa, kaum miskin kota, dan semua kekuatan yang memperjuangkan demokrasi.

LBH kemudian mengembangkan konsep Bantuan Hukum Struktural (BHS), konsep yang didasarkan pada upaya-upaya untuk mendorong terwujudnya negara hukum yang menjamin keadilan sosial dengan cara melibatkan klien untuk ikut menyelesaikan masalahnya sendiri dan mengorganisir diri mereka sendiri sehingga pada akhirnya mereka bisa mandiri dan tidak tergantung lagi kepada pengacaranya. Selain itu, YLBHI ingin menjadikan hukum dan advokasi hukum sebagai alat untuk melawan kemiskinan struktural dan mengubah politik kenegaraan yang menciptakan kemiskinan struktural itu.

Dalam perjalanannya, LBH Jakarta telah menangani kasus-kasus besar di Indonesia, seperti Penggusuran Simprug (1970), Penggusuran di Balik Pembangunan TMII (1970), Peristiwa Tanjung Priok (1984), Peradilan Sesat dalam Perkara Terbunuhnya Peragawati “Dice” (1985), Lima Ribu Penarik Becak Menggugat Pemerintah DKI Jakarta (2000), Gugatan Warga Negara atas Penelantaran TKI Migran yang Dideportasi di Nunukan (2002), Gugatan Warga Negara atas Ujian Nasional (2005), Menggugat Penguasaan Air Jakarta oleh Asing (2012), dan deretan kasus publik lainnya.

Saat ini, LBH yang telah berkembang menjadi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memiliki lima belas kantor cabang dan tujuh pos yang tersebar dari Banda Aceh hingga Papua.

Program kerja yang dijalankan oleh LBH adalah sebagai berikut.

·         Pengembangan Sumber Daya Hukum Masyarakat.

Memberdayakan paralegal berbasis komunitas, pendidikan hukum komunitas, organisir komunitas, mobilisasi solidaritas, pemberdayaan mahasiswa, klinik hukum (clinical legal education), mobile legal aid, dan sebagainya.

·         Penelitian dan Pusat Dokumentasi Bantuan Hukum.

Melakukan riset hukum dan sosial untuk mendukung advokasi hukum, memelihara arsip dan perpustakaan, serta mengembangkan pusat data bantuan hukum.

·         Penanganan Kasus.

Mengerjakan kasus publik (kasus struktural), tetapi tidak terbatas pada litigasi strategis.

·         Advokasi Kebijakan.

Memformulasikan rancangan-rancangan tandingan UU mengenai perlindungan hak-hak rakyat, pengawasan DPR, dan sebagainya.

·         Mobile Legal Aid.

Memberikan layanan konsultasi hukum gratis ke masyarakat dengan mendatangi langsung wilayah tempat tinggalnya.

·         Karya Latihan Bantuan Hukum (KALABAHU).

KALABAHU adalah sarana regenerasi untuk mencetak pekerja bantuan hukum yang berkomitmen pada nilai-nilai hak asasi manusia. KALABAHU secara konsisten diadakan setiap tahun sejak tahun 1980.

 

 

·         Pendidikan Publik.

Sarana pendidikan publik dan pertukaran informasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap permasalahan tertentu.

Fokus kerja LBH adalah sebagai berikut.

·         Perburuhan, meliputi hak atas upah yang layak, hubungan kerja, kepegawaian, hak berserikat, kriminalisasi buruh, dan sebagainya.

·         Perkotaan masyarakat urban, meliputi hak atas tanah dan tempat tinggal, hak usaha dan ekonomi, hak pendidikan, hak kesehatan, hak lingkungan, hak penanggulangan bencana, hak atas identitas, hak atas pelayanan publik, dan sebagainya.

·         Peradilan yang adil dan jujur, meliputi hak mendapatkan akses bantuan hukum, hak atas kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi, hak atas kepemilikan yang tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun, hak bebas dari siksaan dan perlakuan tidak manusiawi, dan sebagainya.

·         Minoritas dan kelompok rentan, meliputi hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, pencari suaka, hak anak, hak perempuan, dan sebagainya.

Inisiatif penguatan LBH adalah sebagai berikut.

·         Paralegal.

Gerakan berbasis komunitas dan isu yang berhasil dibangun LBH Jakarta adalah paralegal disabilitas, anak yang berhadapan dengan hukum, kemerdekaan beragama, dan buruh. Saat ini, lebih dari 134 paralegal telah tersebar di wilayah Jabodetabek dan Banten.

 

 

·         Simpul (Solidaritas Masyarakat Peduli Keadilan).

Simpul adalah wadah penggalangan dukungan publik untuk penyelenggaraan layanan bantuan hukum LBH Jakarta bagi korban ketidakadilan. Dukungan yang diberikan tidak hanya terbatas pada donasi secara finansial, tetapi terbuka juga untuk kontribusi pemikiran, keahlian atau keterampilan, dan lain sebagainya.

·         SEALawyers.

Jaringan kerja advokasi se-ASEAN yang diinisiasi oleh LBH Jakarta bersama-sama dengan ABA-RoLI. SEALawyers adalah organisasi bantuan hukum dan lawyer se-ASEAN yang bertujuan untuk mendorong penguatan sistem hak asasi manusia dan memajukan setiap negara anggota ASEAN untuk memenuhi standar dan norma internasional hak asasi manusia.

·         Suaka.

Suaka adalah jaringan kerja masyarakat sipil yang terbentuk pada tahun 2012 untuk memberikan perlindungan hak pengungsi yang ada di Indonesia melalui penyediaan pendampingan hukum dan advokasi kebijakan.

·         Southern Thailand.

Wilayah  Thailand Selatan yang meliputi empat provinsi utama, yaitu PattaniYala, Songkla, dan Narathiwat merupakan daerah yang paling dimiliterisasi di Thailand. LBH Jakarta hadir di Thailand Selatan sebagai penguat bagi masyarakat sipil dalam mengadvokasi hak-haknya.

·         Link MTP.

Legal Initiative Network for Migrant and Trafficked Person adalah jaringan kerja untuk perlindungan buruh migran yang ada di ASEAN dan korban perdagangan manusia. Jaringan kerja ini menyediakan pendampingan hukum bagi pekerja migran Indonesia dan para korban perdagangan manusia di regional ASEAN.

            Selain mendirikan Lembaga Bantuan Hukum, Adnan Buyung juga telah menangani berbagai kasus besar yang pernah terjadi di Indonesia. Kasus-kasus yang pernah Adnan Buyung tangani adalah sebagai berikut.

1.      Membela sejumlah perwira yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM (1999).

Adnan Buyung dan sejumlah pengacara menjadi pembela sejumlah perwira TNI yang tersangkut kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Hingga kini, penanganan kasus pelanggaran HAM tersebut belum tuntas.
Saat itu, Adnan Buyung masuk ke dalam Tim Advokasi HAM Perwira TNI. Keputusan ini berbuntut pada permintaan agar ia mengundurkan diri dari keanggotaan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang didirikannya.

Menurut seorang anggota Dewan Penyantun YLBHI, Todung Mulya Lubis, langkah Adnan Buyung menjadi tim pembela para jenderal itu sudah tidak sesuai lagi dengan semangat yayasan yang membela hak asasi manusia bagi yang lemah. Adnan Buyung diberikan dua pilihan, yaitu mengundurkan diri atau dipecat dari YLBHI. Namun, pengacara kondang itu tidak serta-merta menerima ancaman tersebut. Baginya, setiap orang, termasuk para perwira tinggi TNI memiliki hak asasi yang sama. “Membela rakyat berarti menegakkan substansinya, yakni kebenaran dan keadilan. Jika rakyat salah, harus diberitahukan. Bukan demi rakyat, lalu bila ada orang lain, yang kebetulan para perwira tinggi TNI, teraniaya, lantas mereka dianggap tak punya hak asasi,” ujarnya. Bagi Adnan Buyung, membela jenderal tersebut hanyalah persoalan biasa.

2.      Membela Komisaris Jenderal Suyitno Landung (Oktober 2006).

Kasus korupsi menjadi salah satu contoh seringnya Adnan Buyung dianggap berseberangan dengan publik, seperti keputusannya untuk membela Komisaris Jenderal Suyitno Landung. Kasus pembobolan BNI Cabang Kebayoran Baru itu merugikan negara sebesar Rp1,2 triliun. Suyitno Landung didakwa mendapatkan hadiah mobil Nissan X-Trail seharga Rp247 juta dari Adrian Waworuntu, salah satu dari otak pembobol BNI.

Akhirnya, Suyitno hanya divonis ringan, yaitu 18 bulan penjara. Banyak pihak menyoroti ringannya hukuman tersebut, tetapi tidak bagi mantan anggota DPRS/MPRS tahun 1966-1968 ini. Adnan Buyung secara lantang membela kliennya. "Tidak pernah ada bukti bahwa karena pemberian itu Suyitno kemudian bertindak melampaui kewenangannya," kata Adnan Buyung Nasution kepada sejumlah wartawan pada Oktober 2006.

3.      Membela Gayus Tambunan (April 2010).

Pembelaan yang dilakukan oleh Adnan Buyung yang juga disoroti masyarakat adalah ketika ia membela Gayus Tambunan, mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Pada tahun 2010, Adnan Buyung memutuskan untuk membela Gayus Tambunan yang terlibat dalam kasus rekayasa pajak. Gayus divonis dua belas tahun penjara dalam perkara mafia pajak.

Menurut Adnan Buyung, penunjukkan dirinya sebagai pengacara Gayus dilakukan setelah istri Gayus, Milana Anggraeni, dan ibu mertua Gayus datang ke kantornya. Selain itu, atas permintaan Gayus secara pribadi.

Ketika Gayus divonis tujuh tahun penjara pada Januari 2011, pengacara yang pernah ditahan selama 22 bulan karena kasus Malari itu mempertanyakan kembali peran aparat hukum. “Apakah polisi bisa dipercaya? Kejaksaan? Komisi Pemberantasan Korupsi? Saya tidak percaya mereka semua,” tegasnya.

4.      Membela Anas Urbaningrum.

Adnan Buyung juga pernah membela Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat, yang menjadi tersangka kasus korupsi proyek Hambalang. Ketika itu, Adnan Buyung menjadi kuasa hukum Anas dalam kasus gratifikasi terkait proyek pembangunan Hambalang yang ditangani KPK.

Adnan Buyung tampil membela Anas hingga kasusnya diputuskan di Mahkamah Agung. Dalam putusan kasasi di MA, Anas divonis hukuman pidana selama empat belas tahun penjara. Adnan Buyung mengaku kecewa terhadap putusan tersebut. Ia menyatakan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta gagal membuktikan kasus Anas, tetapi MA malah memperberat hukumannya. Baginya, hukum sudah tidak bisa diharapkan lagi untuk mencari kebenaran dan keadilan.

5.      Membela Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan.

Adnan Buyung membela Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, adik Gubernur Banten saat itu, Atut Chosiyah, yang menjadi tersangka kasus korupsi pengadaan alat kesehatan di Banten. Ketika itu, Adnan Buyung mengungkapkan alasan dirinya bersedia menjadi kuasa hukum Wawan.

Menurut Adnan Buyung, kesediaannya tidak terlepas karena keinginannya untuk membalas budi istri Wawan, Airin, yang sebelumnya pernah membantu mengurus sejumlah administrasi rumahnya dan kliennya.

    6. Membela Sjamsul Nursalim.

Sjamsul Nursalim yang merupakan pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) diketahui sebagai salah satu obligor yang mendapatkan kucuran dana sebesar Rp27,4 triliun dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dalam kasus tersebut, Adnan Buyung diisukan telah merekomendasikan pengemplang BLBI itu untuk kabur meninggalkan Indonesia.

Ketika itu, Adnan Buyung mengatakan Sjamsul sudah mendapatkan surat tanda lunas atas seluruh utangnya kepada negara. Sjamsul juga telah mengantongi perjanjian pelunasan utang dengan menyerahkan harta-hartanya kepada negara. "Saya rasa banyak tersangka lain dalam kasus BLBI, tetapi bukan Nursalim," tegas Adnan Buyung.

7.      Menangani Kasus Bibit Samad Riayanto dan Chandra Hamzah.

Akibat buku yang diluncurkan oleh OC Kaligis, pimpinan KPK saat itu, Bibit Samad Riayanto dan Chandra Hamzah diperiksa oleh Polri. Keduanya sempat ditahan oleh pihak kepolisian. Adnan Buyung menjadi salah satu tim pengacara Bibit dan Chandra, meski pada akhirnya kasus tersebut dihentikan demi kepentingan publik.

8.      Menangani Kasus OC Kaligis.

Pengacara kondang OC Kaligis terlibat dalam kasus dugaan korupsi suap terhadap Hakim PTUN Medan. Adnan Buyung menjadi salah satu anggota tim penasihat hukum OC Kaligis. Saat ini, kasus tersebut sudah memasuki tahap persidangan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi.

Masih ada banyak sekali kasus-kasus yang pernah ditangani oleh Adnan Buyung. Adnan Buyung memang dikenal sebagai pengacara yang sering membela tersangka dalam berbagai kasus kejahatan, mulai dari korupsi hingga terorisme. Pilihannya dalam memberikan setiap pendampingan hukum yang tidak pandang bulu itu sering kali menuai kritik. Debat panjang hingga adu argumentasi sering terjadi antara Adnan Buyung dan para anak didiknya di LBH. Konsistensi idealisme Adnan Buyung membuatnya bersedia memberikan pendampingan hukum tanpa membedakan status hukum dari orang yang dibela. Adnan Buyung meyakini bahwa ada hak-hak yang dilanggar dalam setiap kasus hukum yang ditangani, misalnya prinsip fair trial yang sering diabaikan. Bagi Adnan Buyung, setiap individu, sekalipun seorang penjahat, berhak mendapatkan perlakuan hukum yang sama. Orang yang bersalah sekalipun tetap berhak didampingi oleh pengacara agar proses hukumnya berjalan adil dan kebenaran dapat terungkap. Bagi Adnan Buyung, tidak penting untuk menjadi populer, yang utama adalah konsisten terhadap idealisme.

Adnan Buyung juga merupakan sosok yang memiliki kepedulian tinggi pada HAM. Adnan Buyung merupakan Wakil Ketua Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) hingga tahun 1983, pendiri Komnas HAM Asia di Manila tahun 1983, anggota International Commission of Jurist (ICJ) yang berpusat di Jenewa tahun 1980 sampai 1985 dan tahun 2001 sampai 2006, anggota International Advisory Council of the Netherlands Institute of Human Rights (SIM) di Utrecht tahun 1980 sampai 1987, anggota International Advisory Council of Huridocs tahun 1988 sampai 1992, anggota Dewan Penyantun YLBHI sejak tahun 1985 sampai 2015, serta anggota International Council for Science (ICSU) di Paris sejak tahun 2003 sampai 2015.

Selain itu, Adnan Buyung adalah salah satu narasumber utama bidang hukum di Indonesia. Karena itu, namanya acap kali menghiasi publikasi dan pemberitaan di media massa, baik cetak maupun elektronik. Walaupun demikian, ia tetap rajin melahirkan tulisan yang dimuat di sejumlah media, nasional maupun internasional, termasuk melahirkan sejumlah buku.

Adapun sejumlah buku yang telah dilahirkannya adalah Access to Justice in Indonesia, Access to Justice, Bantuan Hukum di Indonesia, Democracy in Indonesia, Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, serta Arus Pemikiran Konstitualisme: Tata Negara, Hukum dan Peradilan, Advokat, HAM dan Demokrasi. 

Selain menulis beberapa buku, beberapa penulis, seperti Ramadhan KH. dan Nina Pane, pernah menulis buku mengenai biografi Adnan Buyung. Biografi tersebut ditulis sebanyak tiga jilid berjudul Pergulatan Tanpa Henti dengan rincian:

Jilid 1: Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto

Jilid 2: Menabur Benih Reformasi

Jilid 3: Pahit Getir Merintis Demokrasi, Semangat Si Jambul Putih

Dengan berbagai aktivitas dan perjuangannya itu, sangat wajar jika Adnan Buyung menerima berbagai penghargaan selama hidupnya. Pada tahun 1968, ia menerima anugerah Man of The Year dari Harian Indonesia Raya. Pada tahun 1976, ia menerima penghargaan internasional untuk bantuan hukum di Stockholm. Setahun kemudian, ia menerima penghargaan serupa, yaitu penghargaan internasional untuk bantuan hukum di London.

Pada tahun 2000, pemerintah memberikan penghargaan Bintang Mahaputra untuk Adnan Buyung. Pada tahun 2009, Kongres Advokat Indonesia (KAI) memberikannya penghargaan sebagai Bapak Advokat Indonesia. Pada tahun 2010, ada tiga penghargaan yang diterima oleh Adnan Buyung, yakni The Ary Suta Center Award, Petisi 50 Award, dan penghargaan sebagai Intelektual Berdedikasi (Kompas Award).


 

Sumber:

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Adnan_Buyung_Nasution

https://nasional.tempo.co/read/703225/adnan-buyung-sosok-yang-menginspirasi-banyak-lawyer/full&view=ok

https://nasional.tempo.co/read/703221/5-perkara-kakap-yang-pernah-dibela-adnan-buyung

https://news.detik.com/berita/3026679/kisah-adnan-buyung-dan-murkanya-soeharto

https://www.kompasiana.com/yosefgea/5602562bc0afbdbe21a81c0b/mengenang-adnan-buyung-nasution-sang-pejuang-hukum?page=all#&gid=1&pid=1

https://www.merdeka.com/adnan-buyung-nasution/profil/

https://www.merdeka.com/peristiwa/ini-sepak-terjang-adnan-buyung-bakal-dikenang-sepanjang-masa.html

https://rencanamu.id/post/terkini/berita/belajar-dari-bang-adnan-buyung-nasution

https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/09/23/nv44w0330-ini-profil-almarhum-adnan-buyung-nasution

https://www.dw.com/id/mengenang-bang-buyung-nama-aslinya-adnan-bahrum-nasution/a-18731428

https://news.detik.com/berita/d-3026451/adnan-buyung-nasution-si-jambul-putih-pendekar-hukum-dan-ham

https://www.liputan6.com/news/read/2324592/adnan-buyung-nasution-dari-demo-soeharto-hingga-antikomunis

https://www.merdeka.com/peristiwa/sebelum-meninggal-adnan-buyung-tulis-wasiat-di-kertas-begini-isinya.html

https://tirto.id/adnan-buyung-nasution-advokatnya-kaum-tertindas-cw63


No comments:

Post a Comment