Nama Lengkap : Adnan Buyung Nasution
Tempat, Tanggal Lahir :
Jakarta, 20 Juli 1934
Meninggal :
Jakarta, 23 September 2015
Pekerjaan :
Pengacara dan Pendiri Lembaga Bantuan Hukum
Agama :
Islam
Istri :
Tengku Sabariah Sabaroedin
Anak :
Iken Basya Rinanda Nasution
Tia Rinanda Nasution
Mauldy Donggur Rinanda Nasution
Rasyid Alam Perkasa Rinanda Nasution
Pia Ariestiana Rinanda Nasution
Almamater :
Universitas Indonesia
University of Melbourne
Utrecht University
Prof. Dr.
(Iur) H. Adnan Buyung Nasution, S.H. atau Adnan Bahrum Nasution adalah seorang
pengacara andal dan aktivis Indonesia. Adnan Buyung merupakan pendiri Lembaga
Bantuan Hukum (LBH), yaitu sebuah organisasi masyarakat sipil yang berada di
bawah naungan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Pada tahun 2007
s.d. 2009, Adnan Buyung Nasution menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bagian
Hukum.
Tidak banyak yang tahu bahwa nama
tengah Adnan sebenarnya adalah Bahrum. Di akta kelahirannya, namanya tercatat sebagai Adnan Bahrum
Nasution. Namun, Adnan menamai dirinya sebagai Adnan Buyung Nasution. Nama
"Buyung" ia dapatkan karena ia sering dipanggil demikian oleh
teman-teman dan kerabatnya.
Adnan Buyung dikenal sebagai sosok
yang tangguh. Ketika berusia 12 tahun, Adnan Buyung hidup hanya dengan adik
semata wayangnya, Samsi Nasution, sembari berdagang barang loakan di Pasar
Kranggan, Yogyakarta. Di tempat itu pula, ibu Adnan Buyung yang bernama Ramlah
Dougur berjualan es cendol. Sementara itu, ayahnya, R. Rachmat Nasution,
bergerilya melawan Belanda pada tahun 1947 hingga 1948.
Sang ayah merupakan sosok yang bisa dikatakan
memberikan banyak pengaruh pada Adnan Buyung kecil. Rachmat Nasution adalah
seorang pejuang gerilya dan reformasi. Dia juga merupakan pendiri Kantor Berita
Nasional Antara dan Harian Kedaulatan Rakyat. Selain itu, dia juga merintis The
Time of Indonesia.
Profesi tersebut membuatnya kerap
melakukan perjalanan tugas ke berbagai daerah dan berjumpa dengan para tokoh
pejuang yang berasal dari berbagai suku bangsa di Indonesia dan juga
orang-orang dari bangsa lain. Dari berbagai kisah pengalaman sang ayah itu, Adnan
Buyung mendapatkan suatu pemahaman bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar,
namun belum sepenuhnya terbebas dari cengkeraman kolonialisme. Hal ini membuat
rakyat Indonesia masih terbelakang, diperlakukan secara tidak adil, dan amat
menderita karena tidak mendapatkan penghormatan dan perlakuan yang setara
sebagaimana layaknya bangsa-bangsa bermartabat lainnya.
Berkat keaktifan sang ayah di berbagai
bidang, Adnan Buyung mengikuti Mobilisasi Pelajar (Mobpel) ketika SMP. Mobilisasi
Pelajar adalah sebuah kesatuan pelajar yang ikut berjuang membela negara di era
revolusi fisik pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Mobilisasi
Pelajar secara resmi dibentuk berdasarkan instruksi dari Panglima Komando Djawa
pada tanggal 8 Mei 1949 dengan tujuan mempertahankan kedaulatan Republik
Indonesia dari usaha Belanda untuk menguasai kembali wilayah Hindia Belanda. Di
dalam organisasi tersebut, Adnan Buyung ikut berdemonstrasi terkait pendirian
sekolah NICA di Yogyakarta.
Ketika bersekolah di SMA Negeri 1
Jakarta, Adnan Buyung menjabat sebagai Ketua Cabang Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia
(IPPI), yang kemudian ia bubarkan karena mengandung unsur PKI. Selepas SMA, Adnan
Buyung terdaftar sebagai mahasiswa Teknik Sipil di Institut Teknologi Bandung. Namun,
satu tahun kemudian, Adnan Buyung pindah ke Fakultas Gabung Hukum, Ekonomi, dan
Sosial Politik di Universitas Gadjah Mada. Tidak lama kemudian, Adnan Buyung
pindah ke Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan di Universitas
Indonesia. Awalnya, sang ayah ingin Adnan Buyung menjadi seorang insinyur.
Namun, jiwa Adnan Buyung ada di bidang hukum. Adnan Buyung pun memutuskan untuk
mendalami ilmu hukum dengan harapan dapat memperjuangkan penegakan hukum dan
keadilan di negeri ini. Di tiga universitas tersebut, Adnan Buyung aktif dalam berbagai
organisasi mahasiswa.
Setelah lulus dari Universitas Indonesia,
Adnan Buyung bekerja sebagai jaksa dan Kepala Humas Kejaksaan Agung pada tahun
1957 s.d. 1968. Ia juga mendapatkan kesempatan untuk belajar hukum internasional
di University of Melbourne dengan supervisi dari Prof. Leiser. Selain
mempelajari hukum internasional, Adnan Buyung juga mempelajari mekanisme
bantuan hukum terhadap rakyat miskin (legal
aid for the poor). Ilmu dan pengetahuan itu kemudian menjadi cikal bakal
didirikannya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) beberapa tahun kemudian.
Menjadi jaksa dan kerap bertugas di
daerah-daerah pinggiran dan luar Jakarta membuat Adnan Buyung menyaksikan dan
merasakan secara langsung penderitaan rakyat kecil ketika ditimpa masalah
hukum. Dari situ, Adnan Buyung semakin menyadari bahwa sebagian besar bangsa
kita ternyata belum kunjung dapat menikmati manisnya kemerdekaan, tetap
terpinggirkan, dan terus diperlakukan secara tidak adil sehingga kehidupannya
amat menderita. Adnan Buyung pun berpikir orang-orang kecil yang buta hukum itu
harus dibantu. Penegakan hukum dan keadilan tidak mungkin terjadi di Indonesia
jika rakyat dari kalangan menengah ke bawah dalam posisi yang tidak seimbang.
Persoalan ini mendorong Adnan Buyung untuk mengambil peran sebagai orang yang
membela mereka.
Adnan Buyung juga tetap aktif dalam berbagai
kegiatan politik di Indonesia. Adnan Buyung merupakan Ketua Kesatuan Aksi
Sarjana Indonesia (KASI) pada tahun 1966. Adnan Buyung juga tercatat sebagai
pendiri dan Ketua Gerakan Pelaksana Ampera. Selain itu, ketika terjadi
peristiwa Gestapu, Adnan Buyung tercatat sebagai anggota Komando Aksi Pengganyangan
Gestapu. Adnan Buyung sempat diskors selama satu setengah tahun akibat ikut
berdemonstrasi dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan dituduh
sebagai sosok antirevolusi. Adnan Buyung pun ikut menumbangkan pemerintahan
Soekarno dan melahirkan pemerintahan baru di bawah rezim Orde Baru.
Setelah itu, Adnan Buyung dipindahtugaskan
ke Manado. Namun, tak lama, Adnan Buyung ditempatkan di Medan. Hal ini membuat Adnan
Buyung menganggur hingga satu tahun. Di saat yang bersamaan, Adnan Buyung
mendapatkan panggilan untuk menjadi anggota DPRS/MPRS pada tahun 1966 s.d. 1968.
Pada tahun 1969, Adnan Buyung membuka
kantor pengacara (advokat) bernama Adnan Buyung & Associates, di mana ia
menjadi advokat dan konsultan hukum. Selain itu, pada tahun 1970, Adnan Buyung
mendirikan Lembaga Bantuan Hukum dan menjadi pengurus di sana sampai tahun
1986. Hal ini membuatnya telah menjadi aktivis sejak muda. Lembaga Bantuan
Hukum serta kantor pengacaranya berjalan dengan baik hingga saat ini. Bahkan,
kantor pengacaranya merupakan salah satu kantor pengacara terbaik di Indonesia.
Sementara itu, Adnan Buyung juga
mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). YLBHI yang didirikannya
mendapatkan respons yang baik dan membawahi banyak LBH lainnya sehingga dikenal
sebagai lokomotif demokrasi. Gagasan untuk mendirikan LBH merupakan refleksi Adnan
Buyung ketika menjalankan persidangan. Menurut Adnan Buyung, para terdakwa
selalu pasrah menerima dakwaan dan ia beranggapan bahwa mereka butuh pembela. Namun,
ide tersebut baru dapat ia realisasikan setelah ia melanjutkan studi hukumnya
di University of Melbourne.
Ketika melanjutkan studinya di University
of Melbourne, Adnan Buyung belajar bahwa lembaga bantuan hukum memiliki pola,
model, dan bentuk tertentu.
Kemudian, ia membagikan ide tersebut kepada Kepala Kejaksaan Agung, Soeprapto.
Menurut Soeprapto, belum waktunya ide tersebut direalisasikan. Hal ini memicu Adnan
Buyung untuk mendapatkan banyak persetujuan dari pihak-pihak lain. Kemudian, ia
melakukan pendekatan dengan banyak petinggi hukum, seperti Yap Thiam Hien,
Lukman Wiryadinata, dan Ali Moertopo. Melalui Ali Moertopo, ide tersebut sampai
di telinga Presiden Soeharto.
Tidak berapa lama kemudian, Adnan
Buyung mendapatkan persetujuan dan dukungan dari pemerintah. Selain presiden, Adnan
Buyung juga mendapatkan suara dari Ali Sadikin, Gubernur Jakarta saat itu. Bahkan,
yang mendukung bukan hanya Ali pribadi, tetapi juga Pemerintah Daerah DKI
Jakarta. Akhirnya, pada tanggal 28 Oktober 1970, lahirlah LBH yang diketuai
oleh Adnan Buyung sendiri.
Adnan Buyung cukup sering mengkritik
pemerintahan Orde Baru yang tidak mewujudkan keadilan bagi rakyat kecil. Hal
ini membuat pada tahun 1987, Adnan Buyung terpaksa meninggalkan Indonesia dan
harus pergi ke Belanda karena ancaman dari pemerintahan Orde Baru. Ia pun
memanfaatkan waktunya di Belanda untuk melanjutkan studinya di Utrecht
University. Ia pun memperoleh gelar doktor lewat disertasi berjudul A Socio-Legal Study of the Indonesian
Konstituante 1956-1959.
Setelah kembali ke Indonesia, Adnan
Buyung kembali aktif menyuarakan aspirasinya. Ia menjadi aktivis dan berorasi
di Universitas Atma Jaya pada tahun 1998. Selanjutnya, gelombang reformasi yang
terjadi sejak 1998 membuat Adnan Buyung kembali terjun ke dunia politik. Kali
ini, ia menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk Pemilu
1999. Adnan Buyung bersama KPU dinilai berhasil menggelar pemilihan umum yang
nyaris tanpa kecurangan dan sangat demokratis. Selanjutnya, Adnan Buyung
diminta untuk menjadi penasihat ahli untuk Kementerian Kehakiman di tahun 1998
dan penasihat ahli untuk Kementerian Pertahanan di tahun 2007. Adnan Buyung
juga pernah menjadi Wakil Ketua Panitia Seleksi Calon Anggota KPK dan Komisi
Yudisial.
Pada tahun 2007 s.d. 2009, dalam
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Adnan Buyung menjadi anggota
Dewan Pertimbangan Presiden. Setelah berhenti menjadi anggota Dewan
Pertimbangan Presiden, ia menerbitkan buku berjudul Nasihat untuk SBY
yang mengungkapkan pengalamannya selama menjabat pada tahun 2007 s.d. 2009.
Banyak pihak menilai buku itu kontroversial. Tetapi, seperti sikapnya selama
ini, Adnan Buyung tetap menjadi sosok yang bersikap kritis.
Pada tahun 2010, Adnan Buyung
mendapatkan gelar guru besar (profesor kehormatan) dari University of
Melbourne, sebagai pengakuan atas kontribusinya yang sangat besar pada studi
konstitusi pada hukum Indonesia dan komitmennya untuk membangun supremasi hukum
di Indonesia.
Pada tanggal 23 September 2015, Adnan
Buyung Nasution meninggal dunia di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta. Awalnya, Adnan
Buyung dirawat di rumah sakit karena mengalami sakit pada giginya. Adnan
Buyung yang sudah menderita gagal ginjal sejak Desember 2014 harus mengalami
perawatan lebih lanjut setelah menjalani operasi pencabutan gigi. Selama
dirawat, Adnan Buyung tidak bisa mengonsumsi makanan yang keras dan hanya
mampu mengonsumsi makanan cair. Hal ini membuat asam lambungnya naik,
muntah-muntah hebat, serta memengaruhi kerja paru-paru dan jantungnya. Selain
itu, selama ini, Adnan Buyung juga kerap menjalani cuci darah sejak dinyatakan
mengalami gagal ginjal. Kepergian Adnan Buyung Nasution membawa kesedihan bagi
masyarakat Indonesia karena selama hidupnya, ia telah membela masyarakat
miskin, memperjuangkan berbagai masalah HAM, dan memperjuangkan demokrasi di
Indonesia.
Salah satu sepak terjang Adnan Buyung
di bidang hukum adalah pembentukan Lembaga Bantuan Hukum. Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) adalah sebuah organisasi masyarakat sipil yang berada di bawah
naungan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI) yang dibentuk dengan tujuan untuk
memberikan pembelaan terhadap masyarakat tidak mampu. LBH Jakarta merupakan
lembaga bantuan hukum terbesar di Indonesia dengan akreditasi A yang memberikan
bantuan hukum kepada rakyat miskin, buta hukum, dan tertindas. Lingkup kerja
LBH Jakarta meliputi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Banten.
Awal pembentukan LBH Jakarta berasal
dari gagasan Adnan Buyung untuk
memberikan pembelaan terhadap masyarakat yang tidak mampu memperjuangkan
hak-haknya, terutama rakyat miskin yang digusur dan dipinggirkan, di mana dalam
kesehariannya, hak-hak asasi mereka sering dilanggar. Gagasan tersebut kemudian
disampaikan dalam Kongres III Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) pada tahun
1969. Gagasan tersebut kemudian diajukan dan disetujui oleh Dewan Pimpinan
Pusat Peradin melalui Surat Keputusan Nomor 001/KEP/10/1970 tertanggal 26
Oktober 1970 Tentang Penetapan Pendirian Lembaga Bantuan Hukum dan Lembaga
Pembela Umum di Wilayah DKI Jakarta yang kemudian menjadi pilot project Peradin. Namun,
secara resmi, LBH Jakarta baru mulai berdiri dan menempati kantor pertamanya di
Jl. Kiai Haji Zainul Arifin 3, Ketapang, Jakarta Pusat pada tanggal 1 April
1971. Mulai
beroperasinya LBH Jakarta ditandai dengan pemotongan tumpeng dan acara
selamatan secara sederhana.
Pembentukan Lembaga Bantuan Hukum
Jakarta mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan, termasuk Ali Sadikin yang pada
saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sebagai representasi dari
Pemerintah DKI Jakarta, Gubernur Ali Sadikin mengukuhkan secara resmi
keberadaan LBH Jakarta melalui SK Gubernur No. Ib.3/31/70 Tentang Pembentukan
Lembaga Bantuan Hukum/Lembaga Pembela Umum (Legal Aid/Public Defender) dalam Wilayah DKI Jakarta
tertanggal 14 November 1970.
Dukungan tersebut diberikan pula
dalam bentuk subsidi dana dan fasilitas lainnya yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah DKI Jakarta. Media massa atau
pers juga memberikan dukungan besar terhadap LBH Jakarta. Hal ini terlihat dari
intensitas pemberitaan media tentang sepak terjang LBH Jakarta dalam berbagai
kegiatan penanganan kasus yang dilakukan. LBH Jakarta juga diberikan porsi
lebih dalam menyampaikan suara kritis terhadap kebijakan pemerintah. Dengan
demikian, masyarakat dengan mudah mengenal dan mengetahui LBH Jakarta sebagai
lembaga pemberi layanan bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu. Hal ini
ditunjukkan dengan jumlah pengaduan yang diterima LBH Jakarta yang tidak pernah
kurang dari 1.000 kasus per tahun.
Bukan hanya sekadar memberikan
bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat tidak mampu, tetapi LBH juga
membela tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, agama, suku, etnis, dan keyakinan
politik. Prinsip ini merupakan prinsip utama LBH Jakarta yang dipegang secara
teguh. LBH Jakarta tidak hanya menjadi pembela di bidang hukum saja, tetapi
juga melakukan gerakan pemberdayaan masyarakat. Konsep pembelaan dan
pemberdayaan masyarakat tersebut oleh Prof. Paul Moedikdo Moeliono dinamakan
sebagai gerakan Bantuan Hukum Struktural (BHS) yang kemudian identik
dengan LBH Jakarta.
Setelah beroperasi selama satu
dasawarsa, pada tanggal 13 Maret 1980, status
hukum LBH ditingkatkan menjadi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
dan 28 Oktober tetap dijadikan sebagai hari ulang tahun YLBHI.
Walaupun awalnya dibentuk untuk
memberikan bantuan hukum bagi masyarakat kurang mampu, lambat laun rezim Orde Baru yang otoriter di bawah pimpinan
Soeharto membawa LBH menjadi salah satu
subjek kunci bagi perlawanan terhadap otoritarianisme Orde Baru dan menjadi simpul
penting bagi gerakan prodemokrasi.
Prinsip-prinsip bagi penegakan
demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan membawa LBH ke tengah lapangan
perlawanan atas ketidakadilan struktural yang dibangun dalam bingkai Orde Baru.
LBH memilih untuk berada di sisi pergerakan kaum buruh, petani, mahasiswa, kaum
miskin kota, dan semua kekuatan yang memperjuangkan demokrasi.
LBH kemudian mengembangkan konsep
Bantuan Hukum Struktural (BHS), konsep yang didasarkan pada upaya-upaya untuk
mendorong terwujudnya negara hukum yang menjamin keadilan sosial dengan cara
melibatkan klien untuk ikut menyelesaikan masalahnya sendiri dan mengorganisir
diri mereka sendiri sehingga pada akhirnya mereka bisa mandiri dan tidak
tergantung lagi kepada pengacaranya. Selain itu, YLBHI ingin menjadikan hukum
dan advokasi hukum sebagai alat untuk melawan kemiskinan struktural dan mengubah
politik kenegaraan yang menciptakan kemiskinan struktural itu.
Dalam perjalanannya, LBH Jakarta
telah menangani kasus-kasus besar di Indonesia, seperti Penggusuran Simprug
(1970), Penggusuran di Balik Pembangunan TMII (1970), Peristiwa
Tanjung Priok (1984), Peradilan Sesat dalam Perkara Terbunuhnya Peragawati
“Dice” (1985), Lima Ribu Penarik Becak Menggugat Pemerintah DKI Jakarta (2000),
Gugatan Warga Negara atas Penelantaran TKI Migran yang Dideportasi di Nunukan
(2002), Gugatan Warga Negara atas Ujian Nasional (2005), Menggugat Penguasaan
Air Jakarta oleh Asing (2012), dan deretan kasus publik lainnya.
Saat ini, LBH yang telah berkembang
menjadi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memiliki lima belas kantor
cabang dan tujuh pos yang tersebar dari Banda Aceh hingga Papua.
Program
kerja yang dijalankan oleh LBH adalah sebagai berikut.
·
Pengembangan Sumber Daya
Hukum Masyarakat.
Memberdayakan paralegal berbasis
komunitas, pendidikan hukum komunitas, organisir komunitas, mobilisasi
solidaritas, pemberdayaan mahasiswa, klinik hukum (clinical legal education), mobile legal aid, dan sebagainya.
·
Penelitian dan Pusat
Dokumentasi Bantuan Hukum.
Melakukan riset hukum dan sosial
untuk mendukung advokasi hukum, memelihara arsip dan perpustakaan, serta mengembangkan
pusat data bantuan hukum.
·
Penanganan Kasus.
Mengerjakan kasus publik (kasus
struktural), tetapi tidak terbatas pada litigasi strategis.
·
Advokasi Kebijakan.
Memformulasikan rancangan-rancangan
tandingan UU mengenai perlindungan hak-hak rakyat, pengawasan DPR, dan
sebagainya.
·
Mobile Legal Aid.
Memberikan layanan konsultasi hukum
gratis ke masyarakat dengan mendatangi langsung wilayah tempat tinggalnya.
·
Karya Latihan Bantuan
Hukum (KALABAHU).
KALABAHU adalah sarana regenerasi
untuk mencetak pekerja bantuan hukum yang berkomitmen pada nilai-nilai hak
asasi manusia. KALABAHU secara konsisten diadakan setiap tahun sejak tahun
1980.
·
Pendidikan Publik.
Sarana pendidikan publik dan
pertukaran informasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap
permasalahan tertentu.
Fokus kerja LBH adalah sebagai
berikut.
·
Perburuhan, meliputi hak atas upah yang layak,
hubungan kerja, kepegawaian, hak berserikat, kriminalisasi buruh, dan
sebagainya.
·
Perkotaan masyarakat urban, meliputi hak atas tanah dan tempat
tinggal, hak usaha dan ekonomi, hak pendidikan, hak kesehatan, hak lingkungan,
hak penanggulangan bencana, hak atas identitas, hak atas pelayanan publik, dan
sebagainya.
·
Peradilan yang adil dan
jujur, meliputi hak
mendapatkan akses bantuan hukum, hak atas kebebasan untuk berpendapat dan
berekspresi, hak atas kepemilikan yang tidak boleh diambil alih secara
sewenang-wenang oleh siapapun, hak bebas dari siksaan dan perlakuan tidak
manusiawi, dan sebagainya.
·
Minoritas dan kelompok
rentan, meliputi hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama,
pencari suaka, hak anak, hak perempuan, dan sebagainya.
Inisiatif
penguatan LBH adalah sebagai berikut.
·
Paralegal.
Gerakan berbasis komunitas dan isu
yang berhasil dibangun LBH Jakarta adalah paralegal disabilitas, anak yang
berhadapan dengan hukum, kemerdekaan beragama, dan buruh. Saat ini, lebih dari
134 paralegal telah tersebar di wilayah Jabodetabek dan Banten.
·
Simpul (Solidaritas
Masyarakat Peduli Keadilan).
Simpul adalah wadah penggalangan
dukungan publik untuk penyelenggaraan layanan bantuan hukum LBH Jakarta bagi
korban ketidakadilan. Dukungan yang diberikan tidak hanya terbatas pada donasi
secara finansial, tetapi terbuka juga untuk kontribusi pemikiran, keahlian atau
keterampilan, dan lain sebagainya.
·
SEALawyers.
Jaringan kerja advokasi se-ASEAN yang
diinisiasi oleh LBH Jakarta bersama-sama dengan ABA-RoLI. SEALawyers adalah
organisasi bantuan hukum dan lawyer
se-ASEAN yang bertujuan untuk
mendorong penguatan sistem hak asasi manusia dan memajukan setiap negara
anggota ASEAN untuk
memenuhi standar dan norma internasional hak asasi manusia.
·
Suaka.
Suaka adalah jaringan kerja
masyarakat sipil yang terbentuk pada tahun 2012 untuk memberikan perlindungan
hak pengungsi yang ada di Indonesia melalui
penyediaan pendampingan hukum dan advokasi kebijakan.
·
Southern Thailand.
Wilayah Thailand Selatan yang meliputi empat
provinsi utama, yaitu Pattani, Yala, Songkla, dan Narathiwat merupakan daerah yang paling
dimiliterisasi di Thailand. LBH Jakarta hadir di Thailand Selatan sebagai penguat
bagi masyarakat sipil dalam mengadvokasi hak-haknya.
·
Link MTP.
Legal
Initiative Network for Migrant and Trafficked Person adalah jaringan kerja
untuk perlindungan buruh migran yang ada di ASEAN dan korban perdagangan
manusia. Jaringan kerja ini menyediakan pendampingan hukum bagi pekerja migran
Indonesia dan para korban perdagangan manusia di regional ASEAN.
Selain
mendirikan Lembaga Bantuan Hukum, Adnan Buyung juga telah menangani berbagai
kasus besar yang pernah terjadi di Indonesia. Kasus-kasus yang pernah Adnan
Buyung tangani adalah sebagai berikut.
1. Membela
sejumlah perwira yang
diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM (1999).
Adnan Buyung dan sejumlah pengacara menjadi pembela sejumlah
perwira TNI yang tersangkut kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Hingga
kini, penanganan kasus pelanggaran HAM tersebut belum tuntas.
Saat itu, Adnan Buyung masuk ke dalam Tim
Advokasi HAM Perwira TNI. Keputusan ini berbuntut pada permintaan agar ia
mengundurkan diri dari keanggotaan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI) yang didirikannya.
Menurut seorang anggota Dewan Penyantun YLBHI, Todung Mulya
Lubis, langkah Adnan Buyung menjadi tim pembela para jenderal itu sudah tidak
sesuai lagi dengan semangat yayasan yang membela hak asasi manusia bagi yang
lemah. Adnan Buyung diberikan dua pilihan, yaitu mengundurkan diri atau dipecat
dari YLBHI. Namun, pengacara kondang itu tidak serta-merta menerima ancaman
tersebut. Baginya, setiap orang, termasuk para perwira tinggi TNI memiliki hak
asasi yang sama. “Membela rakyat berarti menegakkan substansinya, yakni
kebenaran dan keadilan. Jika rakyat salah, harus diberitahukan. Bukan demi
rakyat, lalu bila ada orang lain, yang kebetulan para perwira tinggi TNI,
teraniaya, lantas mereka dianggap tak punya hak asasi,” ujarnya. Bagi Adnan Buyung,
membela jenderal tersebut hanyalah persoalan biasa.
2. Membela Komisaris Jenderal
Suyitno Landung (Oktober 2006).
Kasus korupsi menjadi salah satu contoh seringnya Adnan
Buyung dianggap berseberangan dengan publik, seperti keputusannya untuk membela
Komisaris Jenderal Suyitno Landung. Kasus pembobolan BNI Cabang Kebayoran Baru
itu merugikan negara sebesar Rp1,2 triliun. Suyitno Landung didakwa mendapatkan
hadiah mobil Nissan X-Trail seharga Rp247 juta dari Adrian Waworuntu, salah
satu dari otak pembobol BNI.
Akhirnya, Suyitno hanya divonis ringan, yaitu 18 bulan
penjara. Banyak pihak menyoroti ringannya hukuman tersebut, tetapi tidak bagi mantan
anggota DPRS/MPRS tahun 1966-1968 ini. Adnan Buyung secara lantang membela
kliennya. "Tidak pernah ada bukti bahwa karena pemberian itu Suyitno
kemudian bertindak melampaui kewenangannya," kata Adnan Buyung Nasution
kepada sejumlah wartawan pada Oktober 2006.
3. Membela Gayus Tambunan (April
2010).
Pembelaan yang dilakukan oleh Adnan Buyung yang juga
disoroti masyarakat adalah ketika ia membela Gayus Tambunan, mantan pegawai
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Pada tahun 2010, Adnan Buyung memutuskan untuk membela Gayus
Tambunan yang terlibat dalam kasus rekayasa pajak. Gayus divonis dua belas
tahun penjara dalam perkara mafia pajak.
Menurut Adnan Buyung, penunjukkan dirinya sebagai pengacara
Gayus dilakukan setelah istri Gayus, Milana Anggraeni, dan ibu mertua Gayus
datang ke kantornya. Selain itu, atas permintaan Gayus secara pribadi.
Ketika Gayus divonis tujuh tahun penjara pada Januari 2011, pengacara yang pernah ditahan selama 22 bulan karena kasus Malari itu mempertanyakan kembali peran aparat hukum. “Apakah polisi bisa dipercaya? Kejaksaan? Komisi Pemberantasan Korupsi? Saya tidak percaya mereka semua,” tegasnya.
4.
Membela
Anas Urbaningrum.
Adnan Buyung juga pernah membela Anas Urbaningrum, mantan
Ketua Umum Partai Demokrat, yang menjadi tersangka kasus korupsi proyek
Hambalang. Ketika itu, Adnan Buyung menjadi kuasa hukum Anas dalam kasus
gratifikasi terkait proyek pembangunan Hambalang yang ditangani KPK.
Adnan Buyung tampil membela Anas hingga kasusnya diputuskan
di Mahkamah Agung. Dalam putusan kasasi di MA, Anas divonis hukuman pidana selama
empat belas tahun penjara. Adnan Buyung mengaku kecewa terhadap putusan
tersebut. Ia menyatakan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta gagal membuktikan kasus
Anas, tetapi MA malah memperberat hukumannya. Baginya, hukum sudah tidak bisa
diharapkan lagi untuk mencari kebenaran dan keadilan.
5.
Membela
Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan.
Adnan Buyung membela Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan,
adik Gubernur Banten saat itu, Atut Chosiyah, yang menjadi tersangka kasus
korupsi pengadaan alat kesehatan di Banten. Ketika itu, Adnan Buyung
mengungkapkan alasan dirinya bersedia menjadi kuasa hukum Wawan.
Menurut Adnan Buyung, kesediaannya tidak terlepas karena keinginannya
untuk membalas budi istri Wawan, Airin, yang sebelumnya pernah membantu
mengurus sejumlah administrasi rumahnya dan kliennya.
6. Membela Sjamsul Nursalim.
Sjamsul Nursalim yang merupakan pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) diketahui sebagai salah satu obligor yang mendapatkan kucuran dana sebesar Rp27,4 triliun dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dalam kasus tersebut, Adnan Buyung diisukan telah merekomendasikan pengemplang BLBI itu untuk kabur meninggalkan Indonesia.
Ketika itu, Adnan Buyung mengatakan Sjamsul sudah mendapatkan surat tanda lunas atas seluruh utangnya kepada negara. Sjamsul juga telah mengantongi perjanjian pelunasan utang dengan menyerahkan harta-hartanya kepada negara. "Saya rasa banyak tersangka lain dalam kasus BLBI, tetapi bukan Nursalim," tegas Adnan Buyung.
7. Menangani Kasus Bibit Samad Riayanto dan Chandra Hamzah.
Akibat buku yang diluncurkan oleh OC Kaligis, pimpinan KPK saat itu, Bibit Samad Riayanto dan Chandra Hamzah diperiksa oleh Polri. Keduanya sempat ditahan oleh pihak kepolisian. Adnan Buyung menjadi salah satu tim pengacara Bibit dan Chandra, meski pada akhirnya kasus tersebut dihentikan demi kepentingan publik.
8. Menangani Kasus OC Kaligis.
Pengacara kondang OC Kaligis terlibat dalam kasus dugaan korupsi suap terhadap Hakim PTUN Medan. Adnan Buyung menjadi salah satu anggota tim penasihat hukum OC Kaligis. Saat ini, kasus tersebut sudah memasuki tahap persidangan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi.
Masih ada banyak sekali kasus-kasus
yang pernah ditangani oleh Adnan Buyung. Adnan Buyung memang dikenal sebagai
pengacara yang sering membela tersangka dalam berbagai kasus kejahatan, mulai
dari korupsi hingga terorisme. Pilihannya dalam
memberikan setiap pendampingan hukum yang tidak pandang bulu itu sering kali
menuai kritik. Debat panjang hingga adu argumentasi sering terjadi antara Adnan
Buyung dan para anak didiknya di LBH. Konsistensi idealisme Adnan Buyung
membuatnya bersedia memberikan pendampingan hukum tanpa membedakan status hukum
dari orang yang dibela. Adnan Buyung meyakini bahwa ada hak-hak yang dilanggar
dalam setiap kasus hukum yang ditangani, misalnya prinsip fair trial yang sering diabaikan. Bagi Adnan Buyung, setiap
individu, sekalipun seorang penjahat, berhak mendapatkan perlakuan hukum
yang sama. Orang yang bersalah sekalipun tetap berhak didampingi oleh pengacara
agar proses hukumnya berjalan adil dan kebenaran dapat terungkap. Bagi Adnan
Buyung, tidak penting untuk menjadi populer, yang utama adalah konsisten
terhadap idealisme.
Adnan Buyung juga merupakan sosok
yang memiliki kepedulian tinggi pada HAM. Adnan Buyung merupakan Wakil Ketua
Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) hingga tahun 1983, pendiri Komnas HAM
Asia di Manila tahun 1983, anggota International Commission of Jurist (ICJ) yang
berpusat di Jenewa tahun 1980 sampai 1985 dan tahun 2001 sampai 2006, anggota
International Advisory Council of the Netherlands Institute of Human Rights
(SIM) di Utrecht tahun 1980 sampai 1987, anggota International Advisory Council
of Huridocs tahun 1988 sampai 1992, anggota Dewan Penyantun YLBHI sejak tahun
1985 sampai 2015, serta anggota International Council for Science (ICSU) di
Paris sejak tahun 2003 sampai 2015.
Selain itu, Adnan Buyung adalah salah
satu narasumber utama bidang hukum di Indonesia. Karena itu, namanya acap kali
menghiasi publikasi dan pemberitaan di media massa, baik cetak maupun
elektronik. Walaupun demikian, ia tetap rajin melahirkan tulisan yang dimuat di
sejumlah media, nasional maupun internasional, termasuk melahirkan sejumlah
buku.
Adapun sejumlah buku yang telah
dilahirkannya adalah Access to Justice in
Indonesia, Access to Justice, Bantuan Hukum di Indonesia, Democracy in
Indonesia, Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, serta Arus Pemikiran Konstitualisme: Tata Negara,
Hukum dan Peradilan, Advokat, HAM dan Demokrasi.
Selain menulis beberapa buku,
beberapa penulis, seperti Ramadhan KH. dan Nina Pane, pernah menulis buku
mengenai biografi Adnan Buyung. Biografi tersebut ditulis sebanyak tiga jilid
berjudul Pergulatan Tanpa Henti
dengan rincian:
Jilid 1: Dirumahkan
Soekarno, Dipecat Soeharto
Jilid 2: Menabur Benih
Reformasi
Jilid 3: Pahit Getir
Merintis Demokrasi, Semangat Si Jambul Putih
Dengan berbagai aktivitas dan
perjuangannya itu, sangat wajar jika Adnan Buyung menerima berbagai penghargaan
selama hidupnya. Pada tahun 1968, ia menerima anugerah Man of The Year dari Harian
Indonesia Raya. Pada tahun 1976, ia menerima penghargaan internasional untuk bantuan
hukum di Stockholm. Setahun kemudian, ia menerima penghargaan serupa, yaitu
penghargaan internasional untuk bantuan hukum di London.
Pada tahun 2000, pemerintah memberikan
penghargaan Bintang Mahaputra untuk Adnan Buyung. Pada tahun 2009, Kongres Advokat
Indonesia (KAI) memberikannya penghargaan sebagai Bapak Advokat Indonesia. Pada
tahun 2010, ada tiga penghargaan yang diterima oleh Adnan Buyung, yakni The Ary
Suta Center Award, Petisi 50 Award, dan penghargaan sebagai Intelektual
Berdedikasi (Kompas Award).
Sumber:
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Adnan_Buyung_Nasution
https://nasional.tempo.co/read/703221/5-perkara-kakap-yang-pernah-dibela-adnan-buyung
https://news.detik.com/berita/3026679/kisah-adnan-buyung-dan-murkanya-soeharto
https://www.merdeka.com/adnan-buyung-nasution/profil/
https://www.merdeka.com/peristiwa/ini-sepak-terjang-adnan-buyung-bakal-dikenang-sepanjang-masa.html
https://rencanamu.id/post/terkini/berita/belajar-dari-bang-adnan-buyung-nasution
https://www.dw.com/id/mengenang-bang-buyung-nama-aslinya-adnan-bahrum-nasution/a-18731428
https://news.detik.com/berita/d-3026451/adnan-buyung-nasution-si-jambul-putih-pendekar-hukum-dan-ham
https://tirto.id/adnan-buyung-nasution-advokatnya-kaum-tertindas-cw63
No comments:
Post a Comment